Beranda | Artikel
Tidak ada Kewajiban Menyamaratakan dalam Hal Cinta dan Hubungan Badan
Minggu, 14 November 2021

BAB III
POLIGAMI

Pasal 8
Tidak ada Kewajiban bagi Seorang Suami untuk Menyamaratakan dalam Hal Cinta dan Hubungan Badan
Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah memberitahu kami, ia berkata, Sulaiman memberitahu kami, dari Yahya dari ‘Ubaid bin Hunain, dia mendengar dari Ibnu ‘Abbas dari ‘Umar Radhiyallahu anhu, “Dia pernah masuk menemui Hafshah seraya berkata, ‘Wahai puteriku, janganlah engkau tertipu pada seorang wanita, yang mana Rasulullah dibuat kagum oleh kecantikannya -yang dia maksudkan adalah ‘Aisyah.- Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun tersenyum.”

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَتَعَذَّرُ فِي مَرَضِهِ أَيْنَ أَنَا الْيَوْمَ أَيْنَ أَنَا غَدًا اسْتِبْطَاءً لِيَوْمِ عَائِشَةَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمِي قَبَضَهُ اللَّهُ بَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي وَدُفِنَ فِي بَيْتِي

Dari ‘Aisyah Radhiyallauh anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat sakit bertanya-tanya, ‘Di mana aku sekarang? Di mana aku besok?’ karena beliau merasa terlalu lama menunggu hari giliran ‘Aisyah. Dan ketika hari giliranku itu tiba, Allah mewafatkan beliau dengan bersandar di dadaku dan dimakamkan di rumahku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata,

أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْ عَلَيْهِ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ مَعِي فِي مِرْطِي فَأَذِنَ لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَكَ أَرْسَلْنَنِي إِلَيْكَ يَسْأَلْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ وَأَنَا سَاكِتَةٌ قَالَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْ بُنَيَّةُ أَلَسْتِ تُحِبِّينَ مَا أُحِبُّ فَقَالَتْ بَلَى قَالَ فَأَحِبِّي هَذِهِ قَالَتْ فَقَامَتْ فَاطِمَةُ حِينَ سَمِعَتْ ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَجَعَتْ إِلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُنَّ بِالَّذِي قَالَتْ وَبِالَّذِي قَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَ لَهَا مَا نُرَاكِ أَغْنَيْتِ عَنَّا مِنْ شَيْءٍ فَارْجِعِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولِي لَهُ إِنَّ أَزْوَاجَكَ يَنْشُدْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ وَاللَّهِ لَا أُكَلِّمُهُ فِيهَا أَبَدًا قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْنَبَ بِنْتَ جَحْشٍ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ الَّتِي كَانَتْ تُسَامِينِي مِنْهُنَّ فِي الْمَنْزِلَةِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ أَرَ امْرَأَةً قَطُّ خَيْرًا فِي الدِّينِ مِنْ زَيْنَبَ وَأَتْقَى لِلَّهِ وَأَصْدَقَ حَدِيثًا وَأَوْصَلَ لِلرَّحِمِ وَأَعْظَمَ صَدَقَةً وَأَشَدَّ ابْتِذَالًا لِنَفْسِهَا فِي الْعَمَلِ الَّذِي تَصَدَّقُ بِهِ وَتَقَرَّبُ بِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مَا عَدَا سَوْرَةً مِنْ حِدَّةٍ كَانَتْ فِيهَا تُسْرِعُ مِنْهَا الْفَيْئَةَ قَالَتْ فَاسْتَأْذَنَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ عَائِشَةَ فِي مِرْطِهَا عَلَى الْحَالَةِ الَّتِي دَخَلَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا وَهُوَ بِهَا فَأَذِنَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَكَ أَرْسَلْنَنِي إِلَيْكَ يَسْأَلْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ قَالَتْ ثُمَّ وَقَعَتْ بِي فَاسْتَطَالَتْ عَلَيَّ وَأَنَا أَرْقُبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرْقُبُ طَرْفَهُ هَلْ يَأْذَنُ لِي فِيهَا قَالَتْ فَلَمْ تَبْرَحْ زَيْنَبُ حَتَّى عَرَفْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكْرَهُ أَنْ أَنْتَصِرَ قَالَتْ فَلَمَّا وَقَعْتُ بِهَا لَمْ أَنْشَبْهَا حَتَّى أَنْحَيْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَبَسَّمَ إِنَّهَا ابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ

“Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta izin kepada beliau yang ketika itu tengah berbaring bersamaku di atas kainku. Lalu beliau memberikan izin kepadanya. Maka Fathimah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu telah mengutusku kepadamu untuk meminta keadilan mengenai puteri Abu Quhafah (‘Aisyah).’ Dan aku pun diam.”

‘Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai puteriku, bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?’

Fathimah pun menjawab, ‘Ya.’
‘Kalau begitu, maka cintailah wanita ini,’ pinta Rasulullah.”

Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Lalu Fathimah berdiri ketika mendengar hal tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia kembali kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahu mereka apa yang telah dia katakan dan juga jawaban yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.’ Maka mereka berkata kepadanya, ‘Menurut kami, kamu belum berhasil menyampaikan pesan kami sedikit pun. Oleh karena itu, kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya isteri-isterimu meminta sikap adil menyangkut puteri Abu Quhafah (‘Aisyah).’

Maka Fathimah mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada beliau mengenai dirinya (untuk selamanya).’”

‘Aisyah berkata, “Maka isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zainab binti Jahsyin, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu dia menyertaiku dalam kedudukan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak melihat seorang wanita pun di dunia ini yang lebih baik daripada Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur dalam ucapan, dan lebih giat menyambung silaturahmi, lebih besar dalam bersedekah, lebih gigih dalam mengerahkan dirinya dalam beramal dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala.”

‘Aisyah melanjutkan, “Lalu Zainab meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah bersama ‘Aisyah di dalam kainnya dalam keadaan seperti ketika Fathimah masuk ke rumahnya, yang sedang bersamanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Lalu Zainab berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu mengutusku kepadamu untuk meminta sikap adil terhadap puteri Abu Quhafah.’”

‘Aisyah berkata, “Kemudian dia terus berbicara tentang diriku sehingga aku merasa sesuatu tentangnya dalam diriku. Sementara aku mengawasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengawasi pandangannya, apakah beliau mengizinkan aku untuk membela diriku. Sedang Zainab tidak berkenan sehingga dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keberatan jika aku membela diriku.”

‘Aisyah berkata, “Tatkala aku melihatnya, aku tidak lama-lama melihatnya hingga aku pun berpaling darinya.”
Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seraya tersenyum:
‘Sesungguhnya dia adalah puteri Abu Bakar.’” [HR. Muslim].

Ibnul Qayyim rahimahullah (V/151) mengatakan, “Tidak ada keharusan untuk menyamakan di antara isteri-isteri dalam hal cinta, karena hal itu di luar kuasa manusia. Dan ‘Aisyah Radhiyallahu anha merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya tidak ada kewajiban menyamaratakan di antara para isteri dalam hal hubungan badan, karena hal tersebut tergantung pada kecintaan dan kecenderungan. Dan hal itu sudah pasti berada di tangan Allah Yang membolak-balikkan hati. Dan dalam masalah ini terdapat penjelasan secara rinci, yaitu jika dia meninggalkan kecenderungan karena tidak adanya pendorong dan tidak adanya hasrat kepadanya, maka hal itu bisa dimaafkan. Dan jika meninggalkan kecenderungan dengan adanya dorongan kepadanya tetapi pendorong kepada madu lebih kuat, maka hal itu masih berada di bawah kendali dan kekuasaannya, karenanya jika dia menunaikan kewajiban padanya, maka tidak ada lagi hak baginya (isteri) dan tidak ada keharusan kepadanya (suami) untuk menyamaratakan. Dan jika dia (suami) meninggalkan yang wajib darinya (isteri), maka dia berhak menuntut hal itu darinya (suami).”

Syaikh Mushthafa al-‘Adawi hafizhahullah memberikan dua peringatan:

Peringatan pertama: Persamaan dalam hal hubungan badan meskipun hal itu tidak wajib, hanya saja dia disunnahkan untuk bersikap adil dalam masalah tersebut. Dan hal itu lebih baik dan sempurna serta lebih jauh dari kecenderungan yang berlebih-lebihan. Dan hal tersebut telah dikemukakan oleh sejumlah ulama.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan di dalam kitab al-Mughni (VII/35), ‘Jika dimungkinkan untuk melakukan penyamaan antara keduanya dalam hal hubungan badan, maka yang demikian itu lebih baik dan tepat. Dan demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan.’

Di dalam kitab al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab (XVI/430) disebutkan, ‘Disukai bagi seorang suami yang memberikan giliran di antara isteri-isterinya untuk menyamaratakan dalam hal bersenang-senang (hubungan badan), karena yang demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan.’

Dalam kitab yang sama (XVI/433) juga disebutkan, ‘…hanya saja, yang disukai adalah menyamakan di antara mereka dalam hal hubungan badan, karena hal itu yang menjadi tujuan.’

Peringatan kedua: Seorang suami harus memenuhi kebutuhan biologis isterinya sesuai dengan kemampuannya. Sebab, jika dia tidak mengamankan isterinya dari kerusakan, maka yang demikian itu bisa jadi akan menjadi sebab permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keduanya.”[1]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
______
Footnote
[1] Fiqhu Ta’addudi az-Zaujaat, hal. 95.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/44571-tidak-ada-kewajiban-menyamaratakan-dalam-hal-cinta-dan-hubungan-badan.html